← Back to portfolio
Published on

Strategi Bisnis dan Kuasa Rating Tayangan Mistis dan Religi pada Televisi Indonesia

Tontonan sensasional di Indonesia berhasil menjadi strategis bisnis yang sukses karena berhasil menarik empati penonton. Adanya kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan telah menyebabkan tayangan seperti itu merebut hati banyak penonton (Witkowski, 2016). Tayangan tersebut tampaknya juga bersifat universal karena berisi nilai – nilai personal yang dianut oleh banyak masyarakat—yakni emosi dan kegalauan. Selain itu, pesan moral yang ditampilkan dari tayangan sensasional juga dinarasikan mealui kejahatan karakter tertentu yang pada akhirnya mendapatkan dampak pahit dari aksinya—seolah menunjukkan bahwa
‘kebaikan’ adalah kebenaran universal yang absolut dan segala bentuk kejahatan yang melampaui standar masyarakat harus dihukum.

Jika menilik struktur pasar Indonesia—khususnya pada sikap, kebiasaan, dan perilaku audiens secara psikografis—Indonesia sendiri merupakan negara yang lekat akan legenda serta narasi mistisisme. Hal ini pun tampaknya tidak terlepas dari nilai serta norma agama— khususnya Islam sebaagai agama mayoritas—yang begitu mengakar dalam kehidupan masyarakatnya. Diskursus akan moralitas, narasi dunia akhirat, hingga depiksi jin dan setan merupakan hal yang dekat dengan masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari – hari. Secara tidak terelakkan, hal ini pula yang membentuk kultur dan selera masyarakat dalam preferensi tayangan media atau produk budaya yang dikonsumsi secara masif. Hal ini jugalah yang mungkin menyebabkan menjamurnya berbagai tayangan misteri berbalut religi di saluran televisi nasional. Tersaji dalam bentuk sinetron, drama, reality show, hingga acara religi, berbagai tayangan ini mulai hadir sejak akhir tahun 90-an (Hermawan, 2009). Mulai dari narasi dakwah, cerita anak durhaka, hingga narasi azab dalam kehidupan beragama telah menjadi santapan sehari – hari masyarakat Indonesia. Suguhan mistisisme dan takhayul sebagai naskah utama tayangan media telah menjadi suatu normalisasi baru bagi perusahaan media dalam mengembangkan konten serta produksinya. Hal ini pun diimplementasikan dalam berbagai tingkatan—mulai dari tayangan anak hingga drama dewasa, hampir seluruh cerita yang mendominasi televisi memberikan santapan mistisisme yang sejenis.

Nyatanya, publik memang menyambut tayangan – tayangan tersebut dengan penuh suka cita. Judul – judul seperti ‘mati dikerubuti belatung’ atau ‘makam meledak dan terbakar sebagai bukti siksa kubur’ merupakan topik yang seringkali kita temui (Hermawan, 2009). Keberagaman judul macam itu menawarkan satu katarsis atas dunia yang penuh ketidakadilan dan karma yang akan menghampiri orang “jahat” (Heychael, 2018). Melalui gaya bahasa yang bombastis dan cerita yang membuat orang penasaran, tayangan seperti ini memang merupakan bentuk kecerdikan produser dalam membidik kebutuhan hiburan bagi para pemirsa (Hermawan, 2009)—yang secara demografis beragama Islam.

Agama Islam sebagai kompas acuan telah menyebabkan narasi mistis non-realistis menjadi hal yang diminati masyarakat. Adanya kehadiran jin dan setan, dunia akhirat, azab bagi orang jahat serta pesan moral dari suatu cerita telah menjadi diskursus yang diperbincangkan dan diberitakan dari generasi ke generasi sejak jaman dahulu kala. Kedekatan masyarakat akan hal semacam ini tentunya menyebabkan media tertarik untuk membawa topik mistis dan religi ke dalam berbagai tayangannya. Harapannya, narasi cerita macam ini dapat menarik pundi – pundi uang dan meraup keuntungan bagi bisnisnya. 

Meskipun strategi bisnis ini tidak semata – mata salah—dan justru berhasil mendatangkan uang—strategi ini perlu dipertanyakan lebih lanjut. Adegan vulgar serta kekerasan yang marak ditampilkan pada tayangan seperti ini patut dikritisi lebih mendalam. Contohnya, adegan manusia terbakar karena telah berbuat jahat atau siksa kubur yang ditampilkan secara sadis telah mengundang ketakutan dan rasa panik dalam masyarakat. Anehnya, meskipun hal ini membawa dampak negatif, masyarakat tetap banyak menggandrungi tayangan semacam ini. Jika dianalisis lebih lanjut, sepertinya hal ini merupakan refleksi dari kepercayaan individu bahwa semua orang yang ‘jahat’ patut mendapatkan azab yang pedih. Sehingga, meskipun tergolong gore atau sadis, hal ini tetap diminati karena sesuai dengan nilai dan keyakinan masyarakat akan berbagai standar moralitas yang dianutnya. Meskipun berbagai adegan dan narasi dianggap kurang patut ditampilkan, namun sayangnya bisnis media memang jauh lebih mengedepankan nilai ekonomis dan profit. Alhasil, apapun akan dilakukan oleh perusahaan media demi meraup pendapatan, baik dari rating, share maupun iklan.

Tayangan mistis dan religi telah menjadi sumber pendapatan bisnis media televisi yang paling ampuh dalam meningkatkan laba perusahaan. Hal ini merupakan dampak dari faktor aspek sosial masyarakat, yakni implikasi budaya yang sangat memengaruhi selera masyarakat dalam mengonsumsi suatu tayangan atau produk media. Meskipun berhasil menjadi penggerak roda bisnis media, sayangnya tayangan tersebut dibungkus secara sensasional dan bombastis— yang terkadang tidak memerhatikan etika media. Oleh karena itu, penting bagi pebisnis atau aktor dalam industri media untuk tetap menjadikan etika media sebagai prioritas. Dengan mengedepankan profit dan mengenyampingkan etika, maka tayangan yang dapat menarik pundi – pundi emas ini pada akhirnya hanya dapat membodohi masyarakat Indonesia.