← Back to portfolio
Published on

Kritik Seni Dalam Lukisan Vincent Van Gogh “Wheatfield with Crows”

Tulisan ini merupakan penggalan dari artikel kritik seni yang ditulis pada tahun 2019 demi keperluan akademis.

Jika berbicara tentang aliran pasca-impresionisme, rasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa Vincent Van Gogh merupakan salah satu pelukis yang amat signifikan dalam perkembangan aliran seni rupa pasca-impresionisme. Identik dengan gaya ekspresi yang kental akan nuansa biru dan kuning, lukisan Van Gogh seringkali merepresentasikan perspektif dan fragmen emosi secara telanjang mata. Melalui proses kreatifnya, Van Gogh mencurahkan melankolia emosi yang sepanjang hidupnya seringkali terabaikan.

“Wheatfield with Crows” adalah lukisan yang diciptakan oleh Vincent Van Gogh pada bulan Juli tahun 1890. Diciptakan dengan medium cat minyak di atas kanvas dengan dimensi 50,2 cm x 103 cm, lukisan tersebut kini disimpan dan dipamerkan di Museum Van Gogh di Amsterdam, Belanda. Objek dari lukisan ini adalah ladang gandum yang berlokasi di Arles, Perancis, yang tidak berjarak jauh dari kediaman sang seniman dan seringkali didatangi oleh seniman untuk melukis (Vincent Van Gogh: The Paintings (Wheat Field With Crows), n.d.). Lebih dari itu, lukisan ini juga merupakan salah satu lukisan yang dianggap paling fenomenal sepanjang hidupnya karena seringkali dianggap sebagai memo kematian yang dituangkan pada kanvas sebelum ia melangsungkan aksi bunuh diri pada usia ke-37.

Jika dilihat secara teknis, lukisan “Wheatfield with Crows” menunjukkan gaya aliran pasca-impresionisme yang amat kuat dan signifikan. Pertama, goresan kuas yang terpampang pada lukisan menunjukkan pengaplikasian cat yang begitu tebal dan cenderung spontan dengan intensitas yang cukup kuat. Teknik impasto dilakukan untuk melukis langit biru tua dan ladang jagung. Selain itu, goresan kuas juga ditampilkan secara struktural mengikuti ragam alur yang mengonstruksikan objek langit dan ladang secara independen dari realita. Seperti yang terlihat pada gambar di atas, representasi burung gagak yang spontan dan berbeda dari bentuk aslinya menunjukkan ciri khas pasca-impresionisme yang berusaha terlepas dari struktur aslinya dalam realita. Alih-alih menyajikan objek dengan pewarnaan terang yang alamiah seperti aliran impresionisme, lukisan pasca-impresionisme menghadirkan representasi objek melalui pewarnaan yang cenderung dramatis dan menonjolkan penuansaan lukisan.

Pada lukisan ini, jalan di tengah ladang jagung digambarkan melalui goresan kuas yang spontan, intensitas cat yang tebal, serta repetisi dari pengaplikasian cat pada kanvas. Dapat terlihat pada gambar, warna dasar yang menjadi fondasi adalah warna hitam dan nuansa spektrum gelap yang akhirnya ditimpa dengan warna coklat terang yang masih basah serta dilakukan secara terus menerus. Penggunaan warna putih yang dipadukan dengan warna coklat pun menghasilkan warna coklat kekuningan dengan struktur arah kuas yang cenderung abstrak, dinamis, terputus dan memberikan efek optis yang membentuk abstraksi pola. 

Melampaui sisi teknis, lukisan pasca-impresionisme memang pasalnya perlu dimaknai ulang sebagai sebuah ekspresi simbolis yang melakukan penolakan terhadap representasi objek secara denotatif atau kasat mata. Dalam lukisan ini, Van Gogh membangun wacana ulang akan lanskap alam yang terhubung dengan kognisi serta daya emosi. Seolah mendukung teori psikoanalisis dari Sigmund Freud, alih-alih berkutat pada aspek atmosfer objek lukisan yang superfisial, Van Gogh justru menghadirkan objek lukisan melalui gejolak kejiwaan dan emosi yang diluapkannya secara bawah sadar.

Sebagai contoh, arah jalan yang terpampang dalam lukisan menunjukkan tiga arah, yakni ke depan, kanan, dan kiri, seolah memiliki arti lain yang berhubungan dengan kehidupan historis dari Van Gogh sendiri. Meski begitu, dalam konteks ini ketiga arah jalan tersebut tidak pula menunjukkan kejelasan akan ujung destinasi yang terlihat atau ingin dicapai. Hal ini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah dilema akan jalan hidup yang harus ditempuh oleh sang seniman. Lebih dari itu, salah satu arah jalan yang paling jelas terlihat dalam lukisan adalah jalan di tengah yang kian menjauh dari ladang. Pada lukisan, ujung jalan tersebut tidak terlihat dan seolah menjauh hingga cakrawala. Hal ini dapat diinterpretasikan menjadi banyak hal, seperti jalan buntu yang mengartikan kekosongan dari pikirannya, jalan menuju masa depan yang belum pasti, atau justru jalan menuju kematian karena arah yang tidak jelas dan tidak terlihat secara konkret.

Jika dikaji atau ditafsirkan secara subjektif, lukisan “Wheatfield with Crows” tentunya menyimpan banyak interpretasi tersendiri. Guratan goresan dan repetisi dari warna gelap yang secara intensif ditimpa warna lainnya seolah menunjukkan konflik internal yang mungkin sedang dialami oleh sang seniman. Representasi akan kesan dramatis, kesendirian, dan kemuraman pun terlihat dari komposisi akan warna hitam dan biru tua yang mengarah turun menyelimuti langit, kontras akan warna ladang yang kuning, hingga lokasi burung gagak yang seolah datang dari ujung langit menghampiri sang seniman.

Pada akhirnya, lukisan “Wheatfield with Crows” memberikan pengalaman estetis yang berbeda-beda bagi tiap audiens yang menikmatinya. Angan akan simpati, fragmen isolasi, hingga nuansa depresi memang terlihat begitu lekat dalam tiap guratan yang ia torehkan—namun lukisan ini merupakan representasi simbolis dari keseluruhan karya legendaris Van Gogh yang terbiasa mengasah rasa dan banyak dipuja penikmat rupa.