← Back to portfolio
Published on

Dampak Hiperrealitas Pornografi pada Media Terhadap Generasi Z

Standar-standar yang diciptakan oleh tayangan pornografi hanya berfokus pada representasi dan penonjolan tubuh semata. Kebanyakan aktor serta aktris yang berperan dalam tayangan tersebut digambarkan memiliki tubuh yang ideal— seperti tubuh perempuan yang curvy maupun langsing, hingga tubuh lelaki yang berotot dan dianggap maskulin. Hal tersebut memunculkan gagasan bagi audiens akan konsepsi tubuh yang ideal—yang pada kenyataannya, sedikit tidak masuk akal atau sulit untuk dicapai.

Selain itu, tayangan pornografi tidak memerlukan konteks serta subjek sebenarnya, namun hanya diperankan oleh tokoh palsu tanpa adanya identitas serta sejarah. Tanpa kisah dan konteks, foto atau gambar manusia pun menjadi benda atau tubuh tanpa ruh. Pornografi telah mereduksi sesuatu yang hidup menjadi materi yang dapat dimanipulasi. Dengan narasi yang menghadirkan kepalsuan identitas dan hilangnya makna konteks, wacana menjadi hilang kemandiriannya karena hanya diperbudak untuk merangsang hasrat seksual (Haryatmoko, 2010). Dengan kata lain, pornografi hanya semata-mata menggambarkan dua aktor yang bersenggama seperti ‘binatang’ yang sedang menyalurkan hasrat seksualnya.

Tayangan pornografi menjadi sebuah bentuk simulasi dan hiperrealita yang dipertontonkan kepada audiensnya demi mengejar profit semata. Ekspektasi audiens akan hubungan seks di dunia nyata telah diciptakan berdasarkan konsumsi dari konten pornografi secara berulang. Realita yang ada telah tergantikan oleh realita baru, meskipun realita baru tersebut hanyalah tiruan kepalsuan dari imaji semu semata.

Kenikmatan semu dan fantasi yang dimiliki audiens saat menonton tayangan pornografi pun seolah terasa benar-benar terjadi di dunia nyata, padahal yang ditonton hanyalah sekedar materi objek bergerak melalui perantara laptop ataupun ponsel. Selain itu, kenikmatan virtual yang didapatkan pun berkorelasi dengan imajinasinya terhadap konten pornografi tersebut, meskipun kenikmatan yang dilakukan hanyalah kenikmatan semu dalam dunia virtual yang tidak benar-benar terjadi.

Hiperrealitas tayangan pornografi ini dapat berdampak secara langsung kepada audiensnya. Tidak hanya adiksi ataupun obsesi, namun ekspektasi dan standar yang ingin dicapai dari fantasi semunya dapat berujung pada kekecewaannya di dunia nyata. Dengan representasi tubuh ideal, audiens akan menemukan kesulitan dalam mencari pasangan yang diinginkan karena hanya berpaku pada gagasan tubuh ideal seperti yang ditampilkan. Ekspektasi hubungan seks juga tentunya akan berbeda dengan hubungan seks yang benar-benar dilakukan di dunia nyata. Selebrasi berlebihan yang ditampilkan pada tayangan pornografi dapat ditampilkan dari sensasi, kostum, latar tempat, dialog, ekspresi wajah, penonjolan tubuh, alat bantu seks, hingga durasi hubungan yang begitu lama. Lebih dari itu, penggunaan berbagai sex toy dan materi dukungan lainnya juga menumbuhkan imaji semu individu akan hubungan seks yang terjadi pada dunia nyata. Bukan tidak mungkin jika kekecewaan akan timbul ketika pengalaman berhubungan seks di dunia nyata terasa berbeda dengan idealisasi akan hubungan seks pada tayangan pornografi.

Tidak hanya dilematisasi akan ekspektasi dan imajinasi, namun hiperrealitas pada pornografi juga cenderung menimbulkan dominasi dari lelaki terhadap perempuan. Hal tersebut timbul karena penggambaran berlebihan dari konten pornografi yang seringkali menunjukkan kekerasan, dan menganggapnya sebagai hal yang wajar, atau justru meningkatkan hasrat seksual. Pornografi sendiri menampilkan wajah kekerasan, sehingga menimbulkan tendensi bagi penikmatnya untuk melakukan hal yang sama. Jika hal tersebut benar-benar diterapkan pada dunia nyata, maka kekerasan seksual pun dapat terjadi, dan wanita dapat menjadi korban utama dari hiperrealitas pornografi tersebut. Terlebih, jika penikmat tidak dapat menemukan pasangan untuk berhubungan seksual, maka bukan tidak mungkin jika individu tersebut melakukan tindak kriminal seperti pemerkosaan demi memuaskan imajinasinya semata. Selain itu, tayangan pornografi hanya berkutat pada penyaluran hasrat seksual, sehingga perasaan maupun emosi cinta bukanlah hal yang utama dalam konten. Hal tersebut juga dapat memungkinkan audiensnya untuk berorientasi pada hubungan seksual demi kenikmatan semata, dan menghilangkan hasrat dan pencariannya akan hubungan yang didasarkan pada cinta. 

Dapat dikatakan, bahwa pornografi sebenarnya telah melakukan proses pembodohan bagi audiensnya dengan mengkomodifikasikan hubungan seksual melalui proses simulasi yang akan berujung pada hiperrealitas demi profit semata. Penyajian hiperrealitas pornografi tersebut pada akhirnya menimbulkan efek berkepanjangan yang dapat berakibat secara lebih fatal pada kehidupan personal audiensnya.